Kisah dalam Al-Qur'an
Al-Qur’an merupakan Huda (petunjuk) bagi manusia, artinya ajaran yang disampaikannya merupakan pesan dan nasihat-nasihat sehingga menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam membentuk pribadi manusia dari dahulu sampai dengan sekarang. Kisah-kisah dalam Al-qur’an itu sarat sekali dengan pesan dan nasihat, baik secara tekstual maupun konteksual. Dalam menyampaikan pesan dan nasihat-nasihat-nya, tidak selalu disampaikan dengan jelas dan gamblang, kadang penyampaiannya berupa sebuah kisah yang harus dikaji terlebih dahulu atau dianalogkan dengan kejadian saat ini.
Fenomena kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang diyakini kebenarannya sangat erat kaitannya dengan sejarah.
Menurut As-Suyuthi, kisah dalam al-Qur’an sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengingkari sejarah, lantaran sejarah dianggap salah dan membahayakan Al-Qur’an. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan petikan-petikan dari sejarah sebagai pelajaran kepada ummat manusia dan bagaimana mereka menarik manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah. Hal ini dapat dilihat bagaimana Al-Qur’an secara eksplisit berbicara tentang pentingnya sejarah, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran ayat 140 :
“Dan masa( kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).”
Muhammad Iqbal menyatakan, “Al-Qur’an dalam memperbincangkan kisah ini yang bersifat historis, hampir selamanya ia bertujuan hendak memberikan suatu pengertian moral atau filosofis yang sifatnya universal.
QASHASHUL QUR’AN (KISAH-KISAH AL-QUR’AN)
A. Pengertian Qashash (Kisah)
Dari segi bahasa al-qashash atau al-qish-shotu yang berarti cerita ia semakna dengan tatabbu’ul atsar, yaitu pengulangan kembali masa lalu.
Dari segi istilah, kisah berarti berita-berita mengenai suatu permasalahan dalam masa-masa yang saling berurut-urut. Qashash Al-Qur’an adalah pemberitaan mengenai ihwal ummat yang telah lalu, nubuwwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
B. Macam-macam Kisah dalam Al-Qur’an
Ada tiga macam kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu :
1. Kisah Para Nabi terdahulu. Kisah ini mengandung informasi mengenai dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang menentang dan mendustakannya. Misalnya kisah nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun dan Isa.
2. Kisah-kisah yang menyangkut pribadi-pribadi dan golongan-golongan dengan segala kejadiannya yang di nukil oleh Allah untuk dijadikan pelajaran, seperti kisah Maryam, Lukman, Dzulqarnain, Qarun dan Ash-habul Kahfi.
3. Kisah-kisah yang menyangkut peristiwa-peristiwa pada masa Rasulullah SAW, seperti perang Badar, perang Uhud, perang Ahzab, Bani Quraizah, Bani Nadzir dan Zaid bin Haritsah dengan Abu Lahab.
C. Karakteristik Kisah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa-peristiwa secara berurutan (kronologis) dan tidak pula memaparkan kisah-kisah itu secara panjang lebar. Al-Qur’an juga mengandung berbagai kisah yang diungkapkan berulang-ulang di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan disebutkan dalam Al-Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Disatu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang ditempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang secara panjang lebar. Hal ini menimbulkan perdebatan dikalangan orang-orang yang meyakini dan orang-orang yang menentang dan meragukan Al-Qur’an. Mereka yang meragukan seringkali mempertanyakan, mengapa kisah-kisah tersebut tidak tersusun secara kronologis dan sistematis, sehingga lebih mudah dipahami.
Menurut Manna’Khalil Al-Qaththan, bahwa penyajian kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang demikian itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya :
Pertama
Menjelaskan Balaghah Al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Kisah yang berulang itu dikemukakan disetiap tempat dengan ushlub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan, bahkan dapat menambah kedalam jiwanya makna-makna baru yang tidak di dapatkan di saat membacanya di tempat yang lain.
Kedua
Menunjukan kehebatan Al-Qur’an, sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat dimana salah satu bentukpun tidak di tandingi oleh sastrawan Arab, merupakan dahsyah dan bukti bahwa Al-Qur’an itu murni datangnya dari Allah SWT.
Ketiga
Mengundang perhatian yang besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan tanda betapa besarnya perhatian Al-Qur’an terhadap masalah tersebut. Misalnya kisah Nabi Musa dengan Fir’aun. Kisah ini mengisahkan pergulatan sengit antara kebenaran dan kebathilan.
Keempat
Penyajian seperti itu menunjukan perbedaan tujuan yang karenanya kisah itu di ungkapkan. Sebagian dari makna-maknanya diterangkan di suatu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan, sedangkan makna-makna lainnya dikemukakan di tempat lain, sesuai dengan keadaan.
D. Tujuan Kisah dalam Al-Qur’an
Cerita dalam Al-Qur’an bukanlah suatu gubahan yang hanya bernilai sastra saja akan tetapi cerita dalam Al-Qur’an merupakan salah satu media untuk mewujudkan tujuan aslinya. Bagaimanapun juga Al-Qur’an adalah kitab dakwah dan kitab yang meyakinkan objeknya.
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an secara umum bertujuan kebenaran dan semata-mata tujuan keagamaan. Jika di lihat dari keseluruhan kisah yang ada maka tujuan-tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Pertama
Salah satu tujuan cerita itu ialah menetapkan adanya wahyu dan ke-Rasulan. Dalam Al-Qur’an tujuan ini diterangkan dengan jelas diantaranya dalam Q.S. 12 : 2-3
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya termasuk orang-orang yang belum mengetahui” (Q.S. Yusuf : 2-3)
Dan Q.S. 28 : 3. Sebelum mengutarakan cerita Nabi Musa, lebih dahulu Al-Qur’an menegaskan :
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan sebenarnya untuk orang-orang yang beriman”(Q.S. Al-Qashash : 3).
Dalam Q.S. 3 : 44, pada permulaan diceritakan Maryam disebutkan :
“Itulah berita yang ghaib, yang Kami wahyukan kepadamu.”9(Q.S. Ali Imran : 3)
Kedua
Menerangkan bahwa agama dari Allah, dari masa Nabi Nuh sampai dengan masa Nabi Muhammad SAW, bahwa kaum muslimin semuanya merupakan satu ummat, bahwa Allah yang Maha Esa adalah Tuhan bagi semuanya (Q.S. 21 : 51 – 92)
Ketiga
Menerangkan bahwa agama itu semua dasarnya satu dan itu semuanya dari Tuhan Yang Maha Esa (Q.S. 7 : 59)
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata : “Wahai kaumku senbahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. “Sesungguhnya (kalu kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab yang besar (hari kiamat).”(Q.S. Al-A’raf : 59)
Keempat
Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa (Q.S. Hud : 17)
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.”
Kelima
Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dengan agama Nabi Ibrahim As, secara khusus, dengan agama-agama bangsa-bangsa Israil pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat daripada hubungan yang umum antara semua agama. Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa dan Isa AS.
E. Relevansi Kisah dengan Sejarah
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan karya seni yang tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas yang dipatuhi oleh seni, tanpa harus memeganginya sebagai kebenaran sejarah. Ia sejalan dengan kisah seorang sastrawan yang mengisahkan suatu peristiwa secara artistik. Bahwa Al-Qur’an telah menciptakan beberapa kisah dan ulama-ulama terdahulu telah berbuat salah dengan menganggap kisah Qur’ani ini sebagai sejarah yang dapat dipegangi.
Kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an tentu saja tidak dapat dianggap semata-mata sebagai dongeng, apalagi Al-Qur’an adalah kitab suci yang berbeda dengan bacaan lainnya. Memang sering timbul perdebatan, apakah kisah-kisah tersebut benar-benar memiliki landasan historis atau sebaliknya ?, sebagai kisah yang historis sejauh manakah posisi Al-Qur’an dalam memandang sejarah sebagai suatu realitas ?
Sebagai kitab suci, Al-Qur’an bukanlah kitab sejarah sehingga tidak adil jika Al-Qur’an dianggap mandul hanya karena kisah-kisah yang ada didalamnya tidak dipaparkan secara gamblang. Akan tetapi berbeda dengan cerita fiksi, kisah-kisah tersebut tidak didasarkan pada khayalan yang jauh dari realitas.
Melalui studi yang mendalam, diantaranya kisahnya dapat ditelusuri akar sejarahnya, misalnya situs-situs sejarah bangsa Iran yang di identifikasikan sebagai bangsa ‘Ad dalam kisah Al-Qur’an, Al-Mu’tafikat yang di identifikasikan sebagai kota-kota palin, Sodom dan Gomorah yang merupakan kota-kota wilayah Nabi Luth.
Kemudian berdasarkan penemuan-penemuan modern, mummi Ramses II di sinyalir sebagai Fir’aun yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Disamping itu memang terdapat kisah-kisah yang tampaknya sulit untuk di deteksi sisi historisnya, misalnya peristiwa Isra’ Mi’raj dan kisah Ratu Saba. Karena itu sering di sinyalir bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an itu ada yang historis ada juga yang a-historis.
Meskipun demikian, pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk dijadikan bahan penyelidikan menurut kacamata pengetahuan modern, misalnya mengenai raja-raja Israil yang dinyatakan dalam Al-Qur’an.
Karena itu sejarah serta pengetahuan lainnya tidak lebih merupakan sarana untuk mempermudah usaha untuk memahami Al-Qur’an.
KESIMPULAN
1. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an itu memiliki realitas yang diyakini kebenarannya, termasuk peristiwa yang ada di dalamnya. Ia bagian dari ayat-ayat yang di turunkan dari sisi yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
2. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an dimaksudkan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuannya yang asli yaitu tujuan keagamaan yang menyiratkan adanya kebenaran, pelajaran dan peringatan.
3. Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara kronologis dan tidak memaparkannya secara terperinci. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan tentang berlakunya hukum Allah dalam kehidupan sosial serta pengaruhnya baik dan buruk dalam kehidupan manusia.
4. Sebagian kisah dalam Al-Qur’an merupakan petikan sejarah yang bukan berarti menyalahi sejarah, karena pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk mengungkap kisah-kisah dalam Al-Qur’an, dalam kerangka pengetahuan modern.
0 comments:
Posting Komentar
Mau Komentar? Silahkan, asal jangan komentar SPAM ya..
Maaf Komentar yang bernada SPAM akan saya hapus.
No Spam, No Porn, please!!!